Barus, sebuah kota kecil yang terletak di pesisir barat Sumatera Utara, menyimpan sejarah panjang yang kaya akan jejak peradaban Islam di Nusantara. Jauh sebelum kota-kota lain muncul sebagai pusat penyebaran agama Islam, Barus telah dikenal sebagai bandar niaga penting yang menjadi tempat bertemunya pedagang dari berbagai penjuru dunia, termasuk Arab, Persia, dan India. Bukti-bukti arkeologis dan catatan sejarah mengindikasikan bahwa Islam telah hadir di Barus sejak abad ke-7 Masehi, menjadikannya salah satu titik nol peradaban Islam tertua di Indonesia.
Potensi sejarah dan budaya Barus yang luar biasa ini telah lama menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan pusat. Gagasan untuk mengembangkan Barus sebagai destinasi wisata sejarah dan religi yang bertaraf internasional pun muncul, dengan harapan dapat mengangkat perekonomian masyarakat setempat dan melestarikan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pembentukan Badan Otorita Barus, sebuah lembaga khusus yang diharapkan dapat mengkoordinasi dan mempercepat pembangunan kawasan tersebut.
Pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo, wacana pembentukan Badan Otorita Barus sempat mencuat dan mendapatkan perhatian yang cukup besar. Berbagai kajian dan diskusi dilakukan untuk mematangkan konsep lembaga ini, termasuk studi kelayakan dan analisis dampak ekonomi serta sosial. Pemerintah pusat bahkan menunjukkan sinyal positif dengan memasukkan pengembangan Barus sebagai salah satu proyek strategis nasional. Namun, seiring berjalannya waktu, realisasi pembentukan badan otorita ini tidak kunjung terwujud.
Berbagai kendala, mulai dari masalah birokrasi, koordinasi antar lembaga, hingga isu pendanaan, diduga menjadi penyebab terhambatnya proses ini.
Kegagalan mewujudkan Badan Otorita Barus di era Jokowi tentu menjadi sebuah kekecewaan bagi banyak pihak yang menaruh harapan besar pada pengembangan kawasan ini. Potensi Barus sebagai pusat sejarah Islam yang mendunia belum tergali secara optimal, dan masyarakat setempat pun belum merasakan dampak ekonomi yang signifikan dari sektor pariwisata. Namun, dengan pergantian kepemimpinan nasional, muncul kembali secercah harapan. Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, peluang untuk menghidupkan kembali gagasan pembentukan badan otorita ini terbuka lebar.
Presiden Prabowo, dengan visi pembangunan yang menekankan pada penguatan identitas nasional dan pelestarian budaya, memiliki potensi untuk memberikan perhatian lebih terhadap pengembangan situs-situs bersejarah dan religi di Indonesia, termasuk Barus. Jika pemerintahannya memiliki komitmen yang kuat dan mampu mengatasi kendala-kendala yang menghambat pembentukan badan otorita sebelumnya, bukan tidak mungkin impian ini dapat terwujud di era kepemimpinan Prabowo.
Namun, jika pembentukan Badan Otorita Barus kembali menemui jalan buntu, perlu dipikirkan alternatif lain untuk mendorong pengembangan kawasan ini. Salah satu skenario yang mungkin dipertimbangkan adalah pembentukan lembaga serupa di tingkat yang lebih lokal, dengan fokus pada pemberdayaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), Badan Usaha Milik Masjid, atau bahkan Badan Usaha Milik Universitas (BUMU) yang dikelola oleh perguruan tinggi di sekitar Barus, seperti Sekolah Tinggi Agama Islam Barus yang disinergikan dengan Koperasi Desa Merah Putih Titik Nol Islam Barus.
Pembentukan lembaga yang menyerupai badan otorita di tingkat BUMDes, Badan Usaha Milik Masjid, atau BUMUN dapat menjadi solusi yang lebih fleksibel dan adaptif. Lembaga-lembaga ini memiliki pemahaman yang lebih mendalam tentang kondisi lokal dan kebutuhan masyarakat setempat. Mereka juga memiliki potensi untuk mengelola sumber daya yang ada secara lebih efektif dan efisien, dengan dukungan dan pendampingan dari pemerintah daerah dan pusat.
Misalnya, BUMDes di sekitar Barus dapat didorong untuk mengembangkan unit usaha yang bergerak di sektor pariwisata, seperti pengelolaan homestay, penyediaan jasa pemandu wisata, atau penjualan produk kerajinan lokal. Badan Usaha Milik Masjid dapat berperan dalam pengelolaan situs-situs bersejarah dan religi, serta penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan budaya yang menarik wisatawan.
Sementara itu, BUMUN yang dikelola oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Barus, misalnya atau Badan Usaha Milik Pesantren dan Badan Usaha Miliki Museum Fansuri Abad 1 Hijriyah, dapat menjadi pusat penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah Islam di Barus, serta menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan bagi masyarakat setempat terkait pariwisata dan pelestarian budaya.
Pembentukan lembaga yang menyerupai badan otorita di tingkat lokal ini tentu memerlukan dukungan dan sinergi dari berbagai pihak. Pemerintah daerah harus berperan aktif dalam memberikan regulasi yang mendukung, memfasilitasi akses terhadap pendanaan, dan memberikan pelatihan serta pendampingan kepada pengelola BUMDes, Badan Usaha Milik Masjid, dan BUMU. Pemerintah pusat juga dapat memberikan dukungan melalui program-program pemberdayaan masyarakat dan pengembangan pariwisata.
Selain itu, keterlibatan aktif dari masyarakat setempat juga sangat penting. Masyarakat harus menjadi bagian integral dari proses pengembangan Barus, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan.
Mereka memiliki pengetahuan dan kearifan lokal yang tak ternilai harganya, yang dapat menjadi modal penting dalam mengembangkan pariwisata yang berkelanjutan dan berwawasan budaya.
Pengembangan Barus sebagai pusat sejarah Islam tidak hanya memiliki potensi ekonomi, tetapi juga nilai strategis dalam memperkuat identitas nasional dan mempromosikan toleransi serta keberagaman. Barus adalah bukti nyata bahwa Islam telah menjadi bagian integral dari sejarah dan budaya Indonesia sejak lama. Mengembangkan Barus berarti merawat dan menghargai akar sejarah bangsa, serta menunjukkan kepada dunia kekayaan peradaban Islam di Nusantara.
Meskipun pembentukan Badan Otorita Barus di era Jokowi belum berhasil diwujudkan, semangat untuk mengembangkan kawasan ini tidak boleh padam. Peluang di era pemerintahan Prabowo masih terbuka lebar, dan jika upaya tersebut kembali menemui kendala, skenario pembentukan lembaga serupa di tingkat lokal dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Dengan sinergi dan komitmen dari berbagai pihak, impian untuk menjadikan Barus sebagai destinasi wisata sejarah dan religi yang mendunia dapat menjadi kenyataan, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat setempat dan memperkaya khazanah budaya bangsa.
Pengembangan Barus juga dapat menjadi model bagi pengembangan situs-situs bersejarah dan budaya lainnya di Indonesia. Dengan pendekatan yang tepat dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat, warisan budaya bangsa dapat dilestarikan dan dimanfaatkan secara optimal untuk kesejahteraan bersama.
Barus, dengan sejarahnya yang panjang dan potensinya yang besar, layak mendapatkan perhatian dan upaya yang sungguh-sungguh untuk dikembangkan menjadi kebanggaan Indonesia dan dunia.
Pada akhirnya, kunci keberhasilan pengembangan Barus terletak pada komitmen dan kerjasama yang solid dari semua pihak terkait. Pemerintah pusat dan daerah, akademisi, tokoh masyarakat, dan terutama masyarakat Barus sendiri, harus bersatu padu untuk mewujudkan visi bersama. Dengan semangat gotong royong dan tekad yang kuat, Barus dapat kembali bersinar sebagai pusat peradaban Islam yang penting di Nusantara, menarik wisatawan dari berbagai penjuru dunia, dan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat setempat.
0 Comments