Kakankemenag Tamiang: Tgk. Abu Chik di Gelima Guru Agama Islam Sisingamangaraja XII

ilustrasi
JBMI HUMBANG HASUNDUTAN -- “Banyak bukti konstribusi Pesantren (Dayah) untuk pembangunan baik masa kerajaan Aceh maupun masa penjajahan Belanda, pada masa perang kemerdekaan dan saat ini,” ucap Salamina MA, Kakankemenag Tamiang, mengawali sambutannya pada peresmian Pesantren (Dayah) terpadu “Ibdaul Islam” Paya Ketenggar Kec. Manyak Payed, Kab. Aceh Tamiang.

Jelasnya, Prof. Dr. Muhammad Jamil, MA Direktur Bimas Islam Kementerian Agama RI, saat datang ke Aceh, dan bertanya di mana Perpustakaan Abu Chik Tanoh Abe. Beliau mengetahui adanya Perpustakaan Abu Chik Tanoh Abee ketika ia berkunjung ke Belanda dan mengunjungi sebuah Perpustakaan dan menemukan sebuah dokumen yang menyatakan bahwa di Aceh ada sebuah perpustakaan yang didirikan oleh Abu Chik Tanoh Abee, hingga saat ini masih ada ribuan dokumen yang beliau tulis dengan tangan.

Dayah ini ("Dayah Abu Chik Tanoh Abee") pada masa kerajaan Aceh, siapa yang menjadi pimpinannya diangkat oleh raja menjadi “Qadhi Malikul ‘Adil”, dan salah satu pandangan Abu Chik Tanoh Abe adalah “Haram Merokok”.

Selanjutnya, kita lihat Tgk. Abu Chik di Gelima (Pendiri "Dayah Abu Chik Di Gelima"), Tgk. Abu Chik di Gelima adalah orang yang mengislamkan Sisingamangaraja.

Ada tiga bukti Sisingamangaraja itu masuk Islam, pertama; Hadiah yang diberikannya kepada Tgk. Abu Chik Di Gelima berupa seorang perempuan budak. Kedua; Tombak Tri Sula (yang diberikan Sisingamangaraja). Ketiga; surat menyurat (antara Tgk. Abu Chik di Gelima dengan Sisingamangaraja) menggunakan setempel kalimah “Laa ilaaha illallaah”.

Pengislaman ini atas perintah Raja Aceh kepada Tgk. Abu Chik Di Gelima untuk mengajak Raja Sisingamangaraja masuk Islam dan berperang bersama melawan Belanda. (baca: Dayah Abu Chik Geulima)

Selanjutnya kita melihat peran Tgk. Syiah Kuala (Syeikh Abdul Rauf As-Singkily) yang namanya diabadikan menjadi nama Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Dia adalah ulama pertama yang menterjemahkan Al-Qur-an kedalam bahasa Melayu dan hasil karya beliau diberi nama “Tarjamatul Mustafid“.

Dari ketiga tokoh tadi terlihat sekali peran Dayah di masa Kerajaan Aceh, oleh karena itu kita di Paya Ketenggar ini nantinya jangan ada yang benci kepada Pesantren (Dayah), tak mudah memang dalam membangun Pesantren, pasti akan muncul fitnah dan fitnah.

Oleh karena itu marilah, “Neu dong beu kong, beu teuglong, lagee tapula, oh watee dibeuot han teubet-bet (dirikan dengan kuat biar tertancap teguh seperti ditanam, waktu dicabut tak tercabut-cabut, red)” bersama-sama,” ucap beliau mengakhiri sambutannya yang sekaligus memberikan semangat dan motivasi kepada Tgk. Saiful Mahdi, S. Pd. I selaku pimpinan Dayah “Ibdaul Islam”.  (sumber: Kemenag)

Post a Comment

0 Comments